Walaupun gua engga bawa kamera, gua engga merasa rugi sih, untungnya masih ada gadget gua yang kamera belakangnya masih bagus. Jadi masih bisa mengabadikan beberapa momen. Setidaknya ada foto yang bisa gua kenang nanti ketika sudah sampai tempat tinggal atau menjadi pembanding ketika datang ke sana untuk kedua kalinya.
Ternyata, koncinya dari bersyukur adalah merasa cukup. Menerima apa yang sudah diberi Allah ke kita.
Gua jadi mikir, dulu gua kurang bersyukur. Waktu awal-awal kuliah gua dikasih rutin sama orangtua untuk hidup di Ciputat, tapi gua merasa kurang kalau diitung secara matematik di atas kertas. Setelah gua pikirin kemaren, ternyata gua masih hidup sekarang, berarti uang yang dikasih orangtua gua itu cukup-cukup aja, bahkan berlebih karena masih bisa beli barang-barang yang gua mau, waktu itu. Emang kerasanya baru sekarang sih, bukan penyesalan, tapi semuanya jadi pelajaran yang sangat penting buat gua di kemudian hari.
Sekarang, kakek itu sudah pensiun dan menerima uang pensiunannya setiap bulan. Dia bilang, waktu dulu saya engga ngerasain duit dari mengajar saya, tapi hari ini saya merasakannya. Bahkan, bukan cuma saya yang merasakannya, tapi anak dan cucu saya.
Mungkin, setiap kata-kata kakek itu menjadi tamparan buat gua.
Gua mengiyakan kata-kata kakek itu, bahwa apapun yang kita tanam dengan ikhlas hari ini, akan berbuah di masa depan. Mungkin, bukan kita yang merasakan, tapi orang lain, anak-anak kita, cucu-cucu kita atau bahkan tetangga kita.
Coba kita lihat pohon yang ada di jalanan atau di perkebunan, bukan kita yang menanam tapi kita yang merasakan teduhnya pohon itu.
Coba kita lihat negara kita, merdeka, bukan kita yang memperjuangkannya tapi kita yang merasakan nikmatnya sekarang.
Kakek itu menjawab, "Saya tau maksud kamu, saya jadi guru ini ikhlas untuk membantu warga sini medapatakan pendidikan yang layak. Masalah uang, bukan itu tujuan guru, walaupun tetap harus mendapatkan gaji yang layak"
Gua lagi-lagi mengiyakan, menurut gua pun begitu, yang pertama ditanam pada setiap guru adalah ikhlas, ikhlas untuk mendidik anak-anak bangsa. Kalau orientasi seorang guru adalah uang, yang menjadi tumbalnya adalah anak-anak didiknya. Karena sang guru tidak fokus dalam mendidik, jadi fokus pada mencari uang, alhasil dia berusaha di dalam sekolah, dengan jualan LKS atau kegiatan ilegal lainnya.
Memang sebenarnya masalah gaji guru di negara kita masih perlu diperbaiki, namun, itu masalah atas, kita sebagai guru rakyat yang ingin benar-benar mendidik anak bangsa, seharusnya juga meluruskan niat. Insya Allah rejeki akan datang kepada siapapun hamba Allah.
Tiba-tiba, bokap gua nepok pundak gua dan bilang ke kakek itu, "Ini anak saya belajar untuk jadi guru". Gua kaget, padahal siapa yang mau jadi guru, gua masuk dunia pendidikan bahasa Arab karena suka bahasa Arab. Gua menemukan tujuan gua belajar di pendidikan Bahasa Arab ini baru semester akhir ini, gua masuk pendidikan bahasa Arab, pertama karena gua suka bahasa Arab, sedangkan pendidikan untuk gua tau bagaimana mendidik anak nanti kalo punya dan umurnya nyampe.
Tulisan ini gua tutup dengan perkataan kakek itu menjawab tepokan pundak bokap gua ke gua. Dia bilang, "Wah, walaupun saya guru dan saya tau mulianya guru bagaimana, tapi saya tidak mengarahkan anak saya menjadi guru, dia harus berada di atas saya, apapun itu".
Terima kasih semua.
Love you.
Untuk waktu yang singkat, sebagai gantinya gua akan mencari obrolan yan seru. Karena gua masih menganut pemikiran hubungan itu yang penting kualitas, berapapun kuantitasnya. Kualitas obrolannya ya, karena mungkin aja dari orang yang baru gua temuin akan memberikan gua wawasan baru tentang dunia dari sudut pandangnya. Percuma kan ngobrol sama orang lama-lama tapi kita engga bawa pulang apapun, walaupun sebuah pengetahuan.
Untungnya, gua bertemu beberapa orang yang bisa gua ajak ngobrol. Ohiya, gua bareng bokap sama nyokap gua ke Kebumen untuk menjadi saksi nikahnya kaka angkat gua yang tidak didatangi keluaganya se-darah sama sekali. Bokap gua juga suka ngobrol, jadi untuk masuk ke ranah obrolan bapak-bapak, bokap gua membantu masukin gua ke situ.
Jadi bokap gua lagi ngobrol sama kakek-kakek di acara itu, keliatannya seru karena bokap gua selalu menimpali kakek tersebut dengan pertanyaan dan dijawab sangat ramah sama kakek itu. Akhirnya, gua pindah tempat duduk ke samping bokap gua, berhadapan sama kakek tersebut.
Gua denger kakek ini adalah pensiunan guru. Beliau baru pensiun dari dunia pendidikan di tahun 2005, waktu itu umurnya udah 60 tahun. Berarti kalo engga salah hitung, saat gua ngobrol sama dia kemaren, umurnya udah nyentuh 73/74. Kakek itu tinggal di Sadang, Kebumen. Mengajar di sebuah daerah terpencil dan jauh dari perkotaan adalah suatu kesulitan tentunya. Terutama untuk mendapatkan informasi ataupun fasilitas yang memadai.
Dia bercerita dari awal dia mengajar, gua lupa tahun berapa, tapi waktu itu dia masih honorer, yang bikin gua kaget, bahkan, waktu itu dia digaji tergantung dari apakah dana sekolah ada sisanya. Kalo ada sisa, dia akan digaji. Tapi kalo dana sekolah tidak bersisa, tentunya kakek itu pulang ke rumah hanya membawa senyum untuk keluarganya.
Tapi bagaimana kakek itu bisa hidup pada waktu itu dengan gaji yang tidak menentu?
Dia bilang terkadang ketika dia mendapat gaji, dia simpen beberapa untuk persediaan di bulan selanjutnya, ditakutkan bulan depan tidak mendapat gaji. Waktu itu gajinya sebesar 50 rupiah. Gua engga tau pada tahun itu apakah nominal itu adalah besar? Lalu gua tanya gimana bisa bertahan? Jawabannya yang bikin gua diem lama karena mikirin gimana bijaknya kakeknya hidup dulu.
"Ya, namanya kita cuma dapetnya segitu. Itu bagaimana kita merasa cukup sama apa yang kita dapet. Buktinya dengan uang segitu saya masih bisa hidup dan ngobrol sama kalian di sini"
Ternyata, koncinya dari bersyukur adalah merasa cukup. Menerima apa yang sudah diberi Allah ke kita.
Gua jadi mikir, dulu gua kurang bersyukur. Waktu awal-awal kuliah gua dikasih rutin sama orangtua untuk hidup di Ciputat, tapi gua merasa kurang kalau diitung secara matematik di atas kertas. Setelah gua pikirin kemaren, ternyata gua masih hidup sekarang, berarti uang yang dikasih orangtua gua itu cukup-cukup aja, bahkan berlebih karena masih bisa beli barang-barang yang gua mau, waktu itu. Emang kerasanya baru sekarang sih, bukan penyesalan, tapi semuanya jadi pelajaran yang sangat penting buat gua di kemudian hari.
Sekarang, kakek itu sudah pensiun dan menerima uang pensiunannya setiap bulan. Dia bilang, waktu dulu saya engga ngerasain duit dari mengajar saya, tapi hari ini saya merasakannya. Bahkan, bukan cuma saya yang merasakannya, tapi anak dan cucu saya.
Mungkin, setiap kata-kata kakek itu menjadi tamparan buat gua.
Gua mengiyakan kata-kata kakek itu, bahwa apapun yang kita tanam dengan ikhlas hari ini, akan berbuah di masa depan. Mungkin, bukan kita yang merasakan, tapi orang lain, anak-anak kita, cucu-cucu kita atau bahkan tetangga kita.
Coba kita lihat pohon yang ada di jalanan atau di perkebunan, bukan kita yang menanam tapi kita yang merasakan teduhnya pohon itu.
Coba kita lihat negara kita, merdeka, bukan kita yang memperjuangkannya tapi kita yang merasakan nikmatnya sekarang.
Kakek itu mengajarkan gua bahwa hari ini bukan tentang hari ini aja, tapi ada masa depan di dalamnya. Apa yang kita lakukan hari ini akan berdampak pada masa depan kita.Gua sebagai orang yang belajar di fakultas pendidikan langsung reflek nanya, "Sebenarnya, apa tujuan menjadi guru?"
Kakek itu menjawab, "Saya tau maksud kamu, saya jadi guru ini ikhlas untuk membantu warga sini medapatakan pendidikan yang layak. Masalah uang, bukan itu tujuan guru, walaupun tetap harus mendapatkan gaji yang layak"
"Tujuan guru itu bukan uang, tapi keberkahan ilmu", Lanjut kakek itu.
Gua lagi-lagi mengiyakan, menurut gua pun begitu, yang pertama ditanam pada setiap guru adalah ikhlas, ikhlas untuk mendidik anak-anak bangsa. Kalau orientasi seorang guru adalah uang, yang menjadi tumbalnya adalah anak-anak didiknya. Karena sang guru tidak fokus dalam mendidik, jadi fokus pada mencari uang, alhasil dia berusaha di dalam sekolah, dengan jualan LKS atau kegiatan ilegal lainnya.
Memang sebenarnya masalah gaji guru di negara kita masih perlu diperbaiki, namun, itu masalah atas, kita sebagai guru rakyat yang ingin benar-benar mendidik anak bangsa, seharusnya juga meluruskan niat. Insya Allah rejeki akan datang kepada siapapun hamba Allah.
Tiba-tiba, bokap gua nepok pundak gua dan bilang ke kakek itu, "Ini anak saya belajar untuk jadi guru". Gua kaget, padahal siapa yang mau jadi guru, gua masuk dunia pendidikan bahasa Arab karena suka bahasa Arab. Gua menemukan tujuan gua belajar di pendidikan Bahasa Arab ini baru semester akhir ini, gua masuk pendidikan bahasa Arab, pertama karena gua suka bahasa Arab, sedangkan pendidikan untuk gua tau bagaimana mendidik anak nanti kalo punya dan umurnya nyampe.
Karena menurut gua, urusan mengurus anak terlalu diberatkan kepada ibu, karena dia sekolah pertama bagi anak. Padahal peran ayah juga sangat besar efeknya pada anak, terutama anak laki-laki.
Tulisan ini gua tutup dengan perkataan kakek itu menjawab tepokan pundak bokap gua ke gua. Dia bilang, "Wah, walaupun saya guru dan saya tau mulianya guru bagaimana, tapi saya tidak mengarahkan anak saya menjadi guru, dia harus berada di atas saya, apapun itu".
Terima kasih semua.
Love you.
0 Komentar