Hari jumat kemarin bener-bener gila, ini pulau tambah penuh, tambah sumpek. Gua awalnya engga nyaman saking ramenya, karena jarak antar tenda deket-deketan, mungkin nafas tenda sebelah kedengeran. Beda dengan hari pertama, yang keliatan rame tapi engga serame ini. Mungkin ada 50an lebih tenda di sini. Hitung aja, satu tenda jumlahnya 3/4 orang. Berarti di camp ground ada sekitar 150 orang. Orang gilaaaa.
INI PADA GA PUNYA KELUARGA APA YA????
Eh iya gua lupa, emang gua engga punya keluarga apa hahaha.
Ke pulau bawa laptop, tapi makan tiap hari make mie. Gua sih kalo makanan engga mau ngeluh karena ya mau gimana lagi, makanan cuma dari lidah ke tenggorokan. Selagi masih makan nasi, gua pikir masih aman sih. Jangan sampe sakit dah ini, soalnya balik dari sini gua bakal nyupir ke Jawa buat nikahan kaka angkat gua. Kuat dong, Bachrul.
Hari jumat, pas rame-ramenya camp ground, gua sama Janggut memutuskan untuk nongkrong di warung pak Joko, dia baca buku, gua main mobile legend. Tiba-tiba, janggut buka omongan, "Beda ya orang-orang di pantai sama di gunung". Gua jawab singkat, "Iya lah". Janggut lanjut ngomong, "Iya maksud gua, tadi gua nawarin kopi ke tetangga tenda, tapi dia jutek banget". Ya gua sih udah tau pasti begitu, beda banget orang yang datang ke pulau dan ke gunung.
Orang yang datang ke gunung, mereka mau engga mau harus humble, karena mereka membutuhkan effort untuk sampai ke gunung tersebut, kalau mereka engga ramah, suatu waktu dia butuh bantuan orang lain, orang lain yang mungkin dia jutekin bakal gamau bantu.
Berbeda dengan orang yang datang ke pantai, mereka engga butuh terlalu banyak effort. Mereka cuma butuh biaya untuk naik kapal, jalan sedikit ke camp ground dan yaudah. Tapi ini tergantung pulaunya sih, kalau pulanya masih ada warung atau listrik, orang mungkin akan berpikir, dia tidak akan kenapa-napa. Masih gampang lah. Kalo lu berada di pulau yang listrik atau bahkan penduduk lokal engga ada, ya mau engga mau, lu harus berteman dengan sesama pengunjung.
Beberapa kali gua jalan bareng sama Janggut cuma berdua, kebanyakan gunung, daerah Garut. Gua dan Janggut akan berusaha berbaur dengan lingkungan, karena kita cuma berdua, kalo engga berbaur, gua mati, engga ada yang ngubur. Ya setidknya ketika gua kenal satu orang di gunung, gua mati, dia yang teriak ' TOLONGGGG '. Janggut mungkin engga kuat ngangkut gua sendirian, butuh orang lain.
Gua pernah denger kata-kata bahwa, "kalo mau tau karakter aseli seseorang, ajak dia naik gunung". Gua sih setuju, karena di gunung kebanyakan dihadapkan kepada situasi yang sulit. Engga ada listrik, engga sinyal, cape, beban berat dan masih banyak lagi. Jadi, ketika lu bawa temen lu ke gunung, mereka akan keliatan aselinya. Coba aja kalo engga percaya.
Janggut, lebih sering naik gunung daripada gua, terutama setelah gua memutuskan berenti naik gunung kecuali gunung guntur. Setiap orang yang dia ajak, selalu diperhatiin gimana sikap aselinya. Kalau orangnya asik, dia akan ajak lagi. Kalau menurut dia berat dan susah untuk diajak susah, dia akan menyeleksi sendiri dan engga bakal ngajak lagi.
Pilihan yang baik menurut gua, daripada nanti di perjalanan kedua dia merasa diberatkan, lebih baik tidak diajak lagi. Dan gua tau, Janggut orangnya santai, kalo mau naik gunung, tinggal berangkat. Buktinya, kemarin pas bulan puasa, tanggal 1 Juni, dia sama temennya (Satria) berangkat ke gunung Papandayang. Gunung yang sudah sangat komersil tidak untuk kami para pejalan budget tipis.
Goodbye, Papandayan.
Eh engga jadi goodbye deh, kecuali gua ngeguide orang ke sana.
Sebelum kata penutup gua, gua mau ngutip kata-kata Janggut,
"Se-introvert introvertnya orang kalo pergi backpackeran, mau engga mau, dia berusaha menjadi extrovert"
ANJAY.
Jadi, ini kalimat penutup dari gua,
kita harus pahami lingkungan di mana kita berdiri sekarang.
Beda lingkungan, beda kultur.
Yang terpenting menurut gua,
gua tetep jadi diri gua sendiri di mana pun gua berada.
0 Komentar