Gua tutup telpon dari warnet yang gua sewa di pesantren, gua pulang ke kamar dengan senang karena akan sekolah di luar pesantren, engga ketemu sistem yang super ketat. Engga lama bokap gua dateng ke pesantren, gua kaget, secepat ini dia respon telpon gua minta pindah ini. Iya sih perjalanan dari rumah gua ke pesantren cuma 2 jam, tapi kan bisa nanti-nanti, gua mikir berarti bokap gua mau merespon gua dengan cepet, engga nunggu nanti.
Bokap dateng sendiri, tanpa nyokap.
Gua duduk berdua sama bokap di saung samping masjid, tempat biasa orangtua menjenguk anak-anaknya. Bokap gua bawa motor, dengan jaket kulitnya, bawa kantong kresek, mungkin isinya minuman biar kita bisa ngobrol sambil santai. Dan ternyata bukan cuma minuman, tapi ada makanan ringan yang dibawa.
Bokap gua engga langsung masuk ke topik yang ingin diomongin, tapi nanya-nanya tentang keadaan gua, pesantren dan pelajaran gua di sini. Baru lah masuk ke persoalan sebenarnya, yaitu permintaan gua untuk keluar dari pesantren dan melanjutkan sekolah menengah atas di luar pesantren. Ohiya, sebelumnya, gua jelasin kenapa gua minta pindah, karena waktu itu gua kelas 3 SMP, banyak temen-temen gua di pesantren yang mau pindah ke SMA biasa di luar pesantren, banyak omongan juga yang masuk ke dalam telinga gua, akhirnya gua ikutan mendengar ajakan itu. Kebetulan juga waktu itu lagi berat di pesantren, karena banyaknya tekanan dari senior. Akhirnya gua buletin tekad untuk keluar, makanya gua langsung nelpon bokap buat mengiyakan masukan gua itu.
Gua liat bokap nanggepin semua yang gua ceritain dengan santai, gua ceritain semua keluh kesah gua di pesantren sambil nangis, bokap ngerangkul, sambil senyum-senyum, mungkin biar gua juga cerita dengan senyum aja, jangan nangis, karena ngomong gua jadi dicampur ingus meler.
Gua minum air putih yang bokap gua bawa, biar gua engga nangis lagi. Untungya waktu itu orangtua yang jenguk anaknya sedikit, jadi engga terlalu malu karena nangis-nangis di depan bokap. Padahal wajar aja sih nangis depan bapaknya, tapi waktu itu gua tetep malu karena waktu itu gua percaya cowo itu gaboleh nangis. Padhaal sekarang gua udah mikir kalo menangis tetap dibutuhkan kok oleh cowo ataupun cewe.
Bokap gua mulai melepas rangkulannya karena terlalu keras kaya atlit sumo, bokap gua natap gua, di situ gua merasa aman karena gua merasa menjadi anak yang sangat beruntung punya bokap yang pengertian, bokap gua mau mulai ngomong, gua liat ke arah mulutnya, agak keganggu dengan kumis yang terawat menusuk-nusuk bibir atas, tapi gua kesampingkan pikiran itu, siap-siap menerima omongan bokap gua.
Bokap gua ngeluarin omongan yang sampe sekarang gua masih ingat dengan segala situasi di saung pesantren saat itu,
"Nak, aku sih gapapa kamu keluar pesantren, tapi apa kamu bisa jamin kamu bisa lebih baik di luar? Kamu boleh dengerin omongan temen-temen kamu kalo mereka mau keluar, tapi jangan langsung ikutan mau, liat ke depannya gimana"
"Kamu boleh berkelompok, tapi ingat, jangan kelompok yang mewarnai kamu, harus kamu yang mewarnai kelompok kamu."
Denger omongan bokap gua, gua langsung nunduk dan nangis.
Ini yang gua butuhin, omongan bokap yang menyejukkan hati gua, yang membimbing gua untuk tidak terbawa arus kelompok atau lingkungan. Mungkin saat itu gua engga ngomong terima kasih atas petuah yang sangat berharga dan masih gua pegang sekarang, tapi gua sangat berterima kasih atas semua yang diberikan bokap gua dengan kasih dan sayang.
Kita sholat ashar berjamaah di masjid pesantren, abis itu bokap gua langsung pulang ke rumah.
Satu hari yang sangat berharga karena bisa bener-bener ngobrol sama bokap.
Sekarang, gua menulis tulisan ini di kosan sambil denger lagu-lagu Bondan & Fade2Black, ditemani jasjus mangga yang gua beli di warung deket kosan. Sangat sejuk.
Walaupun begitu, tidak sedikit gua terwarnai oleh warna yang lingkungan gua kasih, tapi tetep gua berusaha untuk mewarnai warna yang baik kepada lingkungan. Apapun itu. Gua minta maaf kalo ada warna jelek yang gua kasih ke beberapa orang, semoga bisa kembali ke warna aselinya, untuk kembali mewarnai orang-orang lain yang masih kosong warnanya.
Kalau kita adalah kertas putih, maka sikap kita adalah crayon. Jangan sampai kertas kita hanya kosong tanpa coretan crayon kita, berilah warna kertas putih kita dengan warna yang indah, sehingga orang liat dan ingin meniru, sehingga bukan kita saja yang kertasnya paling berwarna, namun orang lain.
Terima kasih,
Alam.
I love you, All.
0 Komentar