Trauma Panggung Outdoor

Beberapa kali saya ditawari untuk standup di sekolah ataupun kampus, tak sedikit yang panggung acaranya ada di luar alias penontonnya tidak beratap, langsung langit. Kalo siang,  rambutnya bau matahari departement store.

Biasanya saya akan bertanya terlebih dahulu kepada panitia yang menghubungi saya,

"Panggungnya outdoor?"

"Posisi panggungnya gimana?"

Semua yang saya tanyakan biasanya seputar panggung dan penonton. Alasannya adalah, agar ketika saya tampil, saya sudah siap dengan segala kemungkinan yang ada. Karena panggung outdoor dan indoor sangatlah berbeda, penonton yang duduk dan penonton yang berdiri pun berbeda. Itu semua saya pastikan agar saya juga nyaman saat tampil.


Biasanya kalau keliatannya penontonnya anarkis, saya pun jadi gugup sendiri. Karena pernah saya tampil di acara pensi di SMK daerah Jakarta Selatan, lagi standup malah disautin kaya lenong. Bahkan, dibales dengan kata-kata yang kurang enak. Tapi ya menjadi pelajaran buat saya, saya kadang bukan sombong memilah-milih penonton, tapi ini untuk kebaikan jiwa dan mental saya yang kadang down setelah mendapatkan penonton yang anarkis.




Proses healing dari mental yang jatuh bisa cukup lama, kadang bahkan bisa butuh berminggu-minggu untuk sembuh, itu kadang membuat semangat ber-standup saya turun juga. Makanya, lebih baik saya mencegah daripada mengobati.

Ada beberapa teman saya juga yang kadang down ketika mendapat penonton yang tidak sesuai dan akhirnya ngebomb di panggung. Mereka jadi males untuk standup,engga sedikit yang males dateng ke tongkrongan karena takut dikatain karena tidak lucu di satu panggung.

Malam itu, saya ada jadwal standup di acara RDK (Radio Dakwah dan Komunikasi) di UIN Jakarta. Saat itu guest starnya mba Vira Talisa. Saya ngisi di acara ini dalam bentuk feedback kami dari standup UIN yang bekerja sama dengan RDK dalam peminjaman tempat untuk Paradox tour Rahmet Ababil. Saya sebagai penanggung jawab Paradoxlah yang harus turun, kebetulan juga ketua dari acara RDK ini adik saya.

Sebelum tampil saya sudah memperisapkan materi apa yang akan saya bawakan, namun melihat panggungnya outdoor saya jadi sedikit lemes, masih trauma, tapi dengan semangat yang masih ada saya membuat semua ini adalah bentuk standup yang ikhlas, yang penting mereka tertawa dan pesan yang saya bawa di materi saya tersampaikan.

Jadwal tampil saya yang seharusnya sebelum guest star sempat mau diundur jadi setelah. Tapi saya langsung nego, karena ya mau ngapain standup setelah guest star, saya standup di depan orang yang udah berpaling, saya menghibur pundak mereka. Setelah nego dengan panitia, akhirnya saya nampil sebelum Vira Talisa.

Saya udah ikhlas banget ini standupnya, biarin gimana penontonnya. Akhirnya saya standup mungkin 5-7 menit, dengan segala materi yang saya keluarkan, Alhamdulillah, penonton banyak yang tertawa. Saya melihat beberapa orang bahkan maju ke depan untuk menikmati saya lebih dekat. I love that situation when people close to me.

Terima kasih, penonton kemarin.

Turun dari panggung itu saya mempercayai satu hal, bahwa saya bukan trauma dengan panggung outdoor, saya hanya trauma dengan penonton yang tidak suka dengan seni ini. Saya hanya trauma dengan penonton yang tidak mengerti seni ini dan saya hanya trauma dengan penonton yang tidak menghargai seni ini.

Jadi kesimpulan saya adalah standup tidak cocok untuk beberapa orang yang tidak menghargai seni ini.

Ini saya buktikan kembali keesokan harinya, setelah saya tampil di RDK, saya tampil di salah satu kafe di Ciputat, saat itu saya menjadi pembuka diacara diskusi publik, saya standup di depan kira-kira 30 orang, tapi yang mendengarkan saya mungkin hanya 5 orang, bahkan narasumber dari diskusi tersebut asik ngobrol dengan narasumber lain.

Sekali lagi saya,

Sebanyak apapun isi otak kita, attitude kita yang paling penting.

I love you, All.

Posting Komentar

0 Komentar